Wednesday, February 29, 2012

Hasan Al Banna dalam Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin



“Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam
mewujudkannya.”


Muqaddimah
Sesaat setelah membaca kalimat ini, kita akan  merasa telah menemukan sebuah telaga di tengah dahaga yang menyerang peradaban  islam saat ini. Islam, dengan kegemilangan sejarahnya dan kemuliaannya yang tersebar hingga timur ke barat, tengah mengalami berbagai pertarungan dengan peradaban lain yang ingin memudarkan kemuliaan dari tubuh umat muslim, hingga saat ini,  dan sampai kiamat nanti.
Syaikh Sa’id Hawwa dalam Membina Angkatan Mujahid mengatakan, “Jika suatu fatwa dinilai berdasarkan waktu, tempat, dan
 ulama yang memberi fatwa, demikian halnya dengan teori gerakan islam kontemporer. Ia harus dipertimbangkan berdasarkan tempat, masa dan kapabilitas pelakunya
”.
Demikianlah, risalah ini hadir saat kondisi dunia islam tengah mengalami berbagai permasalahan. Runtuhnya kekhilafah Turki Utsmani yang notabene sebagai payung bagi ummat islam, terpecah-belahnya ummat ke dalam golongan nasionalis dan sektarian yang sempit, hilangnya identitas keislaman dari sebagian pemeluknya, dan serangan sekularisme sebagai warisan penjajahan dan pemecahbelahan yang dilancarakan oleh para musuh islam membuat umat islam ibarat tubuh yang berpenyakitan.
Ibarat seorang sekarat yang tengah menunggu ajalnya, umat islam, kala itu, benar-benar mengalami perjalanan menuju sebuah titik nadir dari sejarah peradabannya yang penuh dengan kegemilangan.
Risalah ini sekaligus hadir sebagai terapi bagi penyakit yang kian akut menggerogoti tubuh umat, hingga ia dapat meraih kembali kemuliaannya.
Risalah Pergerakan, keistimewaan karya ini terletak pada penulisnya itu sendiri, Imam Hasan Al Banna.
Untuk melengkapi kajian ini, kita akan sedikit bercerita mengenai sekelumit kehidupan beliau. Karena mendalami dan memahami sebuah karya dapat dikenali lewat mengenali dan berinteraksi dengan pembuat karya tersebut.

Berkenalan Dengan Hasan Al Banna
Hasan bin Abdurrahman Al Banna. Manusia ini – semoga Allah mensucikan ruhnya dan mengelompokkannya ke dalam barisan syuhada – adalah salah satu bukti nikmat dan tanda-tanda kebesaran Allah bagi umat Islam dan seluruhnya. Ia adalah Syaikh
Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Muhammad Al-Banna. Dengan Kehendak-Nya, beliau lahir dari keluarga yang kental warna keislamannya pada Ahad, 25 Sya’ban 1324  H, atau bertepatan dengan 14 Oktober 1906, di Mahmudiyah, Mesir. Syaikh ? Ya,
usianya baru empat puluh tiga tahun saat tangan-tangan kedengkian yang berlumuran darah umat menyarangkan beberapa peluru di tubuhnya. Empat puluh tiga tahun, serasa usia yang belum pas untuk dibilang Syaikh. Tetapi kedalaman jiwa dan kejauhan pandangnya tak memberi ruang untuk tidak memanggilnya syaikh, bahkan patut digelari Imam. Sedang apa orang seusianya saat ini ? begitu luas ufuk pemikirannya, melebihi usia hidup yang dilaluinya. Banyak orang berumur lebih dari seabad, tetapi biografinya tak lebih dari tiga baris. Nama, tanggal lahir, dan tanggal wafat. Terukir di batu nisan.
Soal usia jauh lebih luas daripada sekedar lama hidup. Betapa tidak, usianya belumlah melampaui angka dua puluh dua, namun ia sudah memimpin gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin yang pengaruhnya kala itu telah menggema di seluruh Mesir dan dunia
Arab. Bila pemimpin suatu jaringan perdagangan putau pada arus bawahnya berumur 19 tahun, itu lumrah saja. Namun yang dipimpin oleh pemuda ini adalah tokoh-tokoh sekaliber Syaikh Muhibbudin Al-Khatib (seorang tokoh salafi, pada Jamaah Ansharus sunah dan ahlul hadits), Syaikh Amien Al-Husaini (Mufti Palestina), Syaikh DR. Musthafa As-Siba’i (ahli hukum, pejuang Palestina), dan lain-lain, termasuk para Syaikhul Azhar (Syaikh-syaikh Al-Azhar).
Ayahnya Ahmad bin Abdurrahman adalah seorang ulama hadits terkemuka di Mesir. Karya-karyanya telah tersebar di dunia. Di antaranya adalah ” Fathu Ar-Rabbani fi Tartibi Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani ” dan ” Al-Qaalu Al-Minan fi Jam’i wa Tartibi Al-Imam Asy-Syafi’i was Sunan ”. Ayahnya pun seorang ahli mereparasi jam (sa’ah) sehingga dijuluki As-Sa’ati
atau tukang jam. Hasan Al-Banna pun juga menimba ilmu ini dari sang ayah sehingga ia juga sempat membuka toko reparasi jam di Kairo.
Masa kecil Hasan Al-Banna adalah masa-masa yang penuh berkah bagi seorang anak yang hidup di masa-masa sulit saat itu di Mesir. Hasan adalah sorang anak yang sangat ’gila’ akan ilmu. Hal yang paling disenanginya saat kecil salah satunya adalah membaca buku di perpustakaan ayahnya yang besar.
Studinya diawali di pesantren tahfizhul Qur’an di Mahmudiyah (di sana biasa disebut Al-Kuttab, atau madrasah untuk anak belia). Ia kerap berpindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Namun akhirnya ia lebih memilih keluar dari pesantren dan melanjutkan studinya ke Madrasah I’dadiyah (setingkat SD). Mulanya ayahnya menolak, namun Hasan dapat meyakinkannya bahwa ia takkan meninggalkan hapalan Al-Qur’an-nya yang saat itu belum rampung benar.  Dan jadilah Hasan kecil bersekolah di I’dadiyah.
Di sekolah ini, Hasan bersama teman-temannya pernah mendirikan sebuah perkumpulan yang dinamakan Perkumpulan Akhlaq Mulia. Ide ini diusulkan oleh guru matematika Hasan yang bernama Muhammad Afandi Abdul Khaliq. Dari namanya saja kita sudah tahu kalau perkumpulan ini menghendaki kemuliaan akhlaq dari para anggotanya. Salah satu aturan klub yang ada di antaranya adalah memberi denda kepada siapapun yang melakukan akhlaq yang tercela, dengan nominal denda dari yang
teringan sampai yang terberat. Tergantung seberat apa pelanggaran yang dilakukannya. Ia juga sempat mendirikan Asosiasi Anti Haram bersama teman-teman SD-nya kala itu. Aktivitas klub ini salah satunya adalah memberikan teguran kepada siapapun muslim yang melanggar ketentuan Alloh, misalnya tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Adapun klub ini memberikan reaksinya dengan menegur orang yang melakukan pelanggaran melalui surat yang mereka tulis dan antar sendiri.
Selesainya dari I’dadiyah, Hasan melanjutkan ke Mu’allimin Awwaliyah di Damanhur. Di usianya yang baru tiga belas ini, Hasan bersekolah di tempat yang kelak akan menjadikannya seorang guru. Dan ia dapat menyelesaikannya dengan nilai yang baik. Setelah itu ia melanjutkan ke Darul ’Ulum di Kairo.Selesai dari Darul ’Ulum, Ustadz Hasan Al-Banna menjadi pegawai negeri
dengan menjadi guru sekolah dasar di Ismailiyah, selama 19 tahun.
Tahun 1928, Syaikh Al-Banna mendirikan sebuah gerakan dakwah yang dinamakan Ikhwanul Muslimin. Gerakan inilah yang kelak membuat berkeringat para penguasa yang zhalim, dan membuat resah para penjajah yang saat itu sedang gencar-gencarnya
akan menghancurkan dunia Islam. Lewat gerakan ini pulalah, dengan izin Allah, Syaikh Al-Banna menyadarkan para pemuda dan orang-orang di Mesir kala itu untuk bangkit dari keterpurukan dan menyerukan untuk mereka kembali kepada pemahaman
Islam secara kaffah, mengutamakan ukhuwah dan mengurangi perpecahan.
Setelah itu, beliau berdakwah dengan gigih, hingga akhirnya beliau rahimahullah syahid di tangan penguasa yang zhalim saat itu. Bahkan kematiannya ’dirayakan’ di sebuah hotel mewah di New York, Amerika Serikat pada 12 Februari 1949 oleh orang-orang yang membenci kiprah dakwahnya.
Demikianlah kisah seorang tokoh besar. Meskipun akhirnya ia ’hanya’ di shalatkan dan dikuburkan oleh ayahnya yang sudah udzur bersama empat wanita dari anggota keluarganya, tidak dengan dihadiri ratusan ribu orang dengan berbagai ucapan duka cita, saat tangan-tangan makar menyarangkan beberapa peluru ke tubuhnya yang mulia, itu tidaklah dengan serta merta mematikan cita-cita, dakwah, dan semangat jihadnya.
Ia adalah seorang tokoh yang brilian. Meski tidak mengarang buku berjilid-jilid. Ia rahimahullah memiliki komitmen
bahwa, “Tugasku adalah mencetak kader yang kukirim ke suatu daerah, lalu ia menghidupkannya “. Kader adalah buku hidup yang dapat menemui manusia, masuk ke akal dan menembus hati, jiwa dan akalnya kepada manusia. Di samping itu, kader dapat mencetak kader lain, sebagaimana beliau telah melakukannya.
Kita tidak mengetahui buku-buku khusus karya Imam Asy-Syahid, kecuali beberapa risalah yang dicetak berkali-kali dengan judul Majmu’atu Rosail, atau dalam bahasa Indonesia-nya adalah Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin dan Mudzakkiratud Da’wah wad Da’iyah, atau Memoar Hasan Al-Banna untuk Dakwah dan Da’inya.
Meski tidak banyak buku yang diwariskan Imam Asy-Syahid, namun perpustakaan dunia Islam telah dipenuhi karya kader-kader yang tertarbiyah dalam jamaah yang beliau dirikan. Baik kader sentuhan langsung maupun melalui tangan murid-murid beliau. Satu hal yang pasti, hampir semua kader (binaan) yang menyertai langsung hari-harinya dalam tarbiyah, adalah ulama-ulama yang menghasilkan puluhan, bahkan ratusan buku. Di antaranya adalah Syaikh DR. Yusuf Al-Qaradhawy, Syaikh Sa’id Hawa, Sayyid Sabiq, Sayyid Quthb, Syaikh Muhammad Al-Ghazali, dan masih banyak lagi.
Demikianlah perkenalan kita dengan sang penulis karya yang begitu berharga ini.

Risalah Pergerakan
Membaca buku ini, kita ibarat tengah berhadapan dengan seorang dokter yang begitu mahir dalam mendiagnosa suatu penyakit untuk kemudian ia meramu obat penawarnya demi kesembuhan si sakit tersebut. Obat yang tepat lagi dosis yang cermat dalam
menyembuhkan, sekaligus memberikan kesegaran bagi si pasien.
Membaca buku ini, kita seolah tengah berhadapan oleh seorang syaikh yang begitu mendalam pemahaman dan pengetahuannya, arif dalam bertutur, dan jernih dalam bertafakur. kitaa seperti sedang berada dalam sebuah madrasah yang mampu mendidik,   membimbing, mengasah dan mengasuh semua potensi kita dengan begitu jitunya. Kesadaran kita seolah bangkit untuk kemudian bergerak menuju sebuah tujuan yang  bagi kebanyakan orang adalah utopia dan sia-sia; Terwujudnya sebuah peradaban dunia yang Islam menjadi soko gurunya.
Pengarang buku ini, semoga Allah melimpahkan rahmahNya, adalah seorang konseptor dan eksekutor yang keduanya bisa dengan sama baiknya dilakoni. Ia adalah motivator dan orator yang handal serta menarik tutur katanya. Semua orang yang berbicara dengannya, mendengarkan pembicaraannya, insya Allah akan mendapatkan begitu banyak manfaat
darinya.
Apakah Anda pikir jika kita terlalu berlebihan? Bisa jadi iya, bisa jadi pula tidak. Namun kita memiliki argumen dalam hal ini. Kita meyakini dengan sepenuh hati, bahwa hanya Muhammad-lah sebaik-baik manusia yang telah Allah berikan kemuliaan berupa ke-ma’shum-an, serta para sahabat dan salafushalih yang menjadi penerus risalahNya yang telah Allah berikan begitu banyak kemuliaan, tentu saja.
Namun, kemuliaan juga dapat diraih bagi orang-orang yang meneruskan risalah Anbiya. Ia juga diwariskan untuk orang-orang yang telah mewakafkan hidup dan matinya hanya untuk menegakkan agamaNya di dunia. Dan orang itu, salah satunya, adalah Hasan Al Banna.
Buku ini, sekali lagi tanpa bermaksud melebih-lebihkan – hanya sebuah ungkapan penghargaan, ibarat pelecut bagi jiwa-jiwa yang malas, pengekang nafsu yang memburu, dan pembakar motivasi yang mumpuni. Al Qur’an seolah hidup kembali di tengah gersangnya aqidah umat yang sedang tenggelam dalam arus materialisme kala itu, bahkan hingga saat ini.
Risalah ini memuat kaidah-kaidah yang diperlukan bagi seorang da’i ilallah dalam menjalankan amanahnya di muka bumi. Hal ini tampak dari penjabaran beliau yang tidak begitu rinci dan detail pada beberapa bagian, meski di bagian yang lain beliau menjelaskan secara panjang lebar. Ini dilakukan justru karena beliau tidak ingin mengekang pemikiran manusia yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu dengan melakukan pembatasan-pembatasan dalam definisi. Oleh karenanya, ia hanya membangun beberapa kaidah yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam merealisasikan tujuan yang telah ditetapkan.
Hasan Al Banna berkata bahwa ia tidak ingin memperinci hal yang tidak perlu dirinci, karena itu justru akan mempersempit cakupan pengertian yang sebenarnya bisa lebih luas lagi dari itu.
Mungkin ada yang bertanya, ”Apakah itu tidak berarti melebihkan buku ini dibandingkan dengan Al Qur’an dan Hadits Rasul?”. Nau’udzubillahi min dzalik. Ini adalah argumen yang menurut kita dilatarbelakangi oleh kebodohan dari orang yang mengeluarkannya. Hemat kita, cobalah untuk berinteraksi dan menikmati aliran yang bergulir di dalam buku ini, baru kemudian kita dapat memberikan komentar yang konstruktif, bukannya justru destruktif. Kalo hanya sekedar berkomentar miring, apa bedanya kita dengan orang Yahudi dan Nasrani? Semoga Allah membuka hati kita dan menyinarinya dengan cahaya kebenaran.

Syumuliyatul Islam
Satu hal yang ingin disampaikan oleh Hasan Al Banna dalam Risalah ini adalah sebuah seruan kepada umat islam untuk kembali memahami dan mengaplikasikan islam secara utuh dan menyeluruh, sebagaimana yang telah dipahami oleh umat islam terdahulu. Ini bukan berarti Hasan Al Banna membawa ajaran islam ’baru’, namun karena inilah hasil dari interaksi dan analisisnya dengan korelasi antara kegemilangan peradaban islam dengan pemahaman atas keislaman yang mereka anut.
Hasan Al Banna memahami benar, bahwa kemajuan dan kemuliaan ini tegak manakala setiap muslim memahami benar akan apa yang mereka yakini, bahwa hanya islam-lah solusi untuk semua itu. Sehingga tatkala ada masalah yang menimpa, mereka akan maju bersama untuk menghalau masalah tersebut, sesuai dengan aturan yang telah Allah tetapkan di dalam KitabNya dan sunnah-sunnah Rasulullah.  Namun kenyataannya, umat saat ini tengah mengalami krisis kebodohan atas diin-nya.
Memang ada di antara mereka yang faqih akan ilmu, namun mereka terjebak dengan hal yang remeh-temeh dan perdebatan tiada ujung. Ini dapat membawa islam kepada perpecahan, padahal islam sangat membenci perpecahan, sebagaimana islam membenci kekufuran. Kondisi inilah yang mendorong Hasan Al Banna untuk bangkit mengambil panji dakwah yang mulai ditinggalkan hakikatnya, karena sibuk dengan dinamika dan fenomenanya.
Beberapa hal yang dikritisi oleh Imam Hasan Al Banna ialah pemahaman islam yang sempit pada beberapa orang. Ada orang yang menganggap bahwa Islam hanyalah urusan pribadi dan berhubungan dengan spiritualisme saja. Ada yang sibuk dengan ilmu kalam dan filasafat yang membingungkan. Ada yang anti dengan politik dan menganggap itu terpisah sama sekali dari Islam. Mereka menganggap Islam adalah agama yang kaku dan menghambat kemajuan, dan berbagai pemikiran sakit dan sempit lainnya.
Oleh karena itu, Imam Hasan Al Banna menerangkan bahwa Islam itu tidak hanya sebatas apa yang mereka pikirkan itu. Namun Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang menyentuh dan mengatur segala aspek kehidupan secara lengkap dan mantap. Imam
Al Banna mengatakan bahwa, “Islam adalah sistem yang menyeluruh, yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemrintah dan umat, akhlaq dan kekuatan, kasih kitang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tak kurang dan tak lebih”.
Aduhai, alangkah indahnya bila hal ini dapat kita pahami dengan pikiran yang benar dan hati yang jernih, niscaya segala kebaikan akan tercurah dari Allah kepada kita, jika kita mampu merealisasikannya.

Keyakinan Tanpa Keraguan
Dalam risalah ini, kita juga menemukan sebuah mata air keyakinan yang begitu jernih, dalam dan menyegarkan. Ia adalah
keyakinan yang menghentak dan bergerak. Keyakinan yang tidak semata khayalan dan utopia, namun ia berawal dari janjiNya yang tiada pernah tersalah, sebagaimana tertuang dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi mengenai datangnya masa keemasan Islam setelah mengalami masa kemunduran.
Keyakinan ini benar-benar mempu mengasah seluruh sendi fikriyah kita dan membangkitkan semangat untuk merealisasikannya, dengan tahapan dan sarana yang tentu saja harus diperhatikan dan disusun dengan seksama. Kiranya kalimat pembuka dalam kajian ini dapat kita renungi bersama makna dan hakikatnya. “Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya.”

No comments:

Post a Comment